Sabtu, 09 Februari 2013

Surat untuk Pak Cik


Ikal, surat ini kutuliskan kepadamu dengan nelangsa..

Negeri kami, Ikal.. tidak akan berada di sebelah bawah dalam soal keindahan pabila dibandingkan dengan Negeri Pelangi-mu. Dan engkau boleh memanggil negeri kami Negeri Lembayung Senja karena kami adalah negeri yang terkungkung perlintasan Bukit Barisan di kiri dan kanan, adalah negeri yang terkangkang tabir langit di Timur dan Barat pedalaman Sumatera Bagian Tengah. Senja di negeri kami hanya semburat bayangan Sang Surya yang menghilang nun di bukit-bukit jauh. Pagi di negeri kami hanya temaram fajar berselimutkan udara yang bisa membekukan minyak goreng.

Kami memiliki bukit-bukit yang permai, hijau dan raya! Di pori-pori Buminya mengalir mata air-mata air yang jernih yang meminumnya langsung takkan membuat perutmu sakit. Itulah sumber-sumber air kehidupan yang menghidupi hidup kami, yang mengalirkan airnya menuju Sungai Batang Sumpur yang menjadi urat nadi tapak-tapak persawahan kami yang menghijau atau menguning. Hutan-hutan kami lebat dan massif, di perbukitan sana kami mempunyai hutan-hutan lindung dan di datarannya kami ada Cagar Alam Rimbo Panti. Yakinlah udara kami sungguh segar dan sejuk, cocok untuk para penderita penyakit polusi di kota-kota sana. Petak-petak sawah kami sungguh menghibur dan menyenangkan mata memandangnya. Percayalah, engkau tak akan bosan jika menjejakkan kaki kesana.

Negeri kami sungguh indah Ikal.. dan sungguh bhinneka! Kami hidup bersama sekalipun berbeda, bahkan kami tidak memerlukan bahasa nasional sebagai penghantar karena masing-masing dari kami bertanggungjawab melantunkan bahasa ibu kami sendiri sekaligus pada saat yang sama memahami bahasa ibu lainnya. Saksikanlah di Pasar Panti atau Pasar Tapus saat Inang-inang dan Induk-induk bertransaksi memakai bahasa masing-masing dan jual-belinya tetap berjalan lancar karena setiap orang setidaknya menguasai dua bahasa –dan itu tidak termasuk bahasa nasional. Adapun bahasa nasional-nya sendiri hanya akan terdengar dilisankan orang-orang di Kantor Polisi dan ruang-ruang sekolah. Oya, engkau akan menemui keunikan negeri kami menjadi sub-spesies tersendiri di zona persilangan budaya Minangkabau dan Tapanuli tepat di ujung Utara Sumatera Barat dan batas Selatan Sumatera Utara. Di atas peta engkau menemukan nama negeri kami sebagai Kabupaten Pasaman, sebuah daerah yang masih setia menunggu sesuatu yang ‘pas’ untuk bisa betul-betul ‘aman’.

Ya, kami memang masih menunggu sesuatu yang tepat untuk negeri kami –negeri yang ironis. Negeri kami sungguh indah dan pada saat yang sama sungguh-sungguh melarat! Negeri Pelangimu masih beruntung memiliki material berharga di dalam perut Belitong yang kalian sebut dengan Timah itu. Adapun negeri kami hanyalah hamparan kehijauan yang tak boleh dijamah tangan manusia. Hanya sejenis sajian menu prasmanan yang menggiurkan tetapi tidak boleh dinikmati. Kami tidak punya industri seandainya kami ingin menjadi Buruh, kami tidak punya modal dan ketrampilan seandainya kami ingin menjadi Wirausaha dan kami jelas bukan PNS atau Pengusaha Kebun Karet yang tajir. Profesi yang tersedia bagi kami hanya menjadi Petani –sebagian besar itu bermakna Petani tanpa tanah garapan.

Inilah negeri yang terdiri dari 80% hutan-hutan lindung di darat dan di bukit-bukit sana dan hanya memiliki 20% saja tanah yang datar sehingga cukup lapang untuk menampung populasi manusia yang 80% diantaranya berprofesi sebagai Petani –lebih khusus lagi petani sawah! Dan pabila engkau bercerita tentang para petani sawah maka yang engkau dapatkan hanyalah kisah kemelaratan. Para Petani adalah kaum marjinal yang berjumlah massif yang hidupnya tak pernah menggambarkan kemayoritasannya, mereka bertani dan menanam padi hanya tuk sekadar bertahan hidup karena hanya itu yang bisa dilakukan. Para Petani adalah pihak-pihak yang selalu perlu dan penting dikorbankan demi kesejahteraan pihak-pihak lainnya –sementara dirinya sendiri tak usah disejahterakan, karena harga jual gabah yang selalu rendah dan karena ongkos pertanian yang selalu lebih mahal dari hasil panennya. Dan disini di negeri ini kami memiliki martir-martir ekonomi negara itu dalam jumlah banyak –bahkan teramat banyak.



Kami mempunyai sesuatu yang tak bisa kami miliki, karena dia ada hanya untuk dilihat semata. Pun apa yang kami punya adalah sesuatu yang tidak pantas kami miliki, menurut potensi negeri kami. Kami memberi kontribusi sebagai paru-paru dunia, sayangnya pada saat yang sama kami justru tak mampu berkontribusi bagi paru-paru sendiri. Kami telah berkorban demi kelangsungan eksistensi dunia, sayangnya dunia tak mau berkorban demi kelangsungan eksistensi kehidupan kami.

Apakah dunia memperhatikan kami, Ikal? Apakah Jakarta cukup memahami kami? Sayangnya tidak –sampai saat inipun tidak- dan karenanya kamipun semakin dalam menerjunkan diri dalam kemelaratan. Datanglah berkunjung ke negeri kami dan saksikan rumah-rumah panggung yang sangat padat bertebaran di pinggiran Jalan Raya Lintas Barat Sumatera yang rimbun dengan pepohonan dan lanskap sawah tetapi tidak memiliki halaman baik di depan maupun di belakang, dengan anggota keluarga sangat besar, dengan MCK terpusat hanya di mesjid-mesjid. Tidak ada utilitas karena yang ada hanya kekumuhan seolah mereka tinggal di pinggiran perkotaan padahal sejatinya masih orang udik.

Dan kisah kemelaratan itu sederhana saja, Ikal.. Karena jika setiap keluarga memiliki setidaknya lima orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan maka suatu saat nanti ketika mereka berumah tangga maka yang pergi dari rumah itu hanya satu orang saja: anak perempuannya! Adapun sisa anaknya hanya akan menekuri kehidupan yang persis sama dengan Ayahnya, bertahan di tanah kelahirannya dan mulai membagi apa-apa yang tertinggal sebagai harta warisan Sang Ayah: mulai dari selungguk-dua lungguk tanah persawahan hingga membagi rata Bagas Godang atau Rumah Gadang hingga ke bilik-biliknya. Dan karena apa yang mereka ketahui dalam hidup hanyalah meneruskan profesi Orangtuanya –menjadi Petani- maka cerita kemelaratan bakal terus berkepanjangan.

Memangnya tanah persawahan itu bisa bertambah luas? Karena kami juga tak mengerti teknologi mekanisasi pertanian maka yang terjadi adalah areal pertanian semakin menyempit untuk menampung tempat tinggal manusia-manusia baru yang terus bermunculan bersama keluarga barunya: tanpa pendidikan, tanpa skill dan tanpa harapan.

Pada saat yang sama hutan dan bukit permai itu tetap saja tidak diperbolehkan dijamah tangan manusia –konsekwensinya adalah kurungan di Kantor Polisi. Semua itu demi alasan kelestarian lingkungan hidup (dan itu benar belaka). Tapi Ikal, apa menurutmu orang-orang lugu yang tak berpendidikan itu akan paham kenyataan itu jika hari-harinya adalah kelaparan? Apakah mereka akan cukup peduli sesuatu yang ‘tingkat tinggi’ seperti global warming jika tingkat rendah mereka tepat di perut bagian tengah selalu menjerit dengan nyaring sehingga ber-efek emotional warming alias kemarahan sumbu pendek? Mereka tak cukup paham dan tak begitu berilmu dalam soal-soal seperti itu.

Ya, jika dahulu tiap anak sulung sebuah keluarga masih bisa menamatkan SMA di Rao atau di Lubuksikaping maka kini anak sulung dari anak sulungpun bahkan kesulitan untuk sekadar tamat SMP meski gedung-gedung sekolah semakin banyak bertebaran. Hari ini target setiap keluarga menjadi sangat minimalis: setidaknya anak-anaknya tidak buta huruf dan masih bisa sekadar menuliskan namanya sendiri. Padahal saat ini ijazah S1-pun telah kehilangan wibawanya, apatah lagi sekadar tamat SD atau SMP? Aku tidak tahu apakah negeri kami memiliki mentalitas pro-pendidikan seperti Laskar Pelangimu, seandainya ada maka itu adalah anugerah yang sungguh besar bagi kami.

Tiga puluh tahun lebih telah berlalu semenjak aku dilahirkan disana di salah satu sudut perkampungannya. Apa yang kusaksikan sepanjang waktu itu adalah sebuah fragmen hilangnya sebuah generasi muda penuh harapan karena terjauhkan dari siklus pendidikan dan karenanya justru berkubang dalam siklus kebodohan. Nah jika kebodohan engkau kalikan dengan kemiskinan yang juga massif maka hasil akhir yang akan kita dapat adalah: tragedi yang tragis!!!

Percayalah, tidak perlu menunggu hingga tiga puluh tahun lagi untuk melihat sebuah negeri yang bukan lagi negeri lembayung senja tetapi telah berubah menjadi negeri kelam karena kebodohan, kemiskinan dan pembiaran. Maka tunggulah kemunculan berbagai jenis penyakit sosial kemasyarakatan lengkap dengan penamaannya yang berbeda-beda dan sama-sama memusingkan. Dan ketika saat itu tiba, Ninik-mamak dan Hatobangon takkan banyak berguna lagi, mereka takkan di dengar karena anak-anak muda pengangguran itu akan lebih mendengar bunyi Kretek Ganja atau Lem cap Kambing di pojok-pojok kampung.

Mereka akan lebih suka melarikan anak gadis orang ketimbang menikahinya baik-baik karena mereka tidak memiliki duit dan legitimasi sosial sebagai anak manusia yang cukup berharga. Dan ketika mereka menikah, mereka tidak memiliki pekerjaan dan karenanya lebih suka memproduksi anak di malam-malam yang panjang di negeri lembayung senja yang memiliki malam yang lebih panjang ketimbang siang hari –persis setelah mereka bergosip-ria di lopo-lopo sambil menonton parabola dan menumpuk hutang segelas-dua gelas kopi enteng kepada empunya warung.

Aku memandangnya dari jauh dengan nelangsa, dengan prihatin dan dengan kerinduan. Harus ada perubahan! Tak ada pilihan lain, jika tak ada yang peduli maka biarlah kita sendiri yang peduli.
Andrea Hirata, katakan apa yang harus kami lakukan?

Oleh : Ahmad Arifin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar