Rabu, 20 Februari 2013

Bangkit


Kalau kau baca bab Mahar di buku Laskar Pelangi, kau pasti temui bagaimana nasib bisa tiba-tiba mencuatkan bakat ke langit-langit atau malah sebaliknya, dengan kejam menguburnya hidup-hidup. Di siang berhawa neraka itu Mahar bisa saja terlewatkan oleh Bu Muslimah atau barangkali terjangkit batuk kering dan lupa menelan pil APC. Hasilnya lagu Tennesse Waltz tidak akan mengalun hikmat. Dan Maharpun tetap dipandang tak lebih dari teman sekelasnya: laskar pengkhianat nada.

Nasib macam inilah yang mempertemukan temanku Bangkit—Tukang Uap julukannya—dengan buku merah muda setebal sekitar tiga senti yang belakangan ini banyak tampil di media massa, terselip di rak buku pejabat atau terlihat di set FTV. Benar, buku itu berjudul Laskar Pelangi.
Sebelumnya ia tak pernah sekalipun melirik buku ini. Pak Nasir—guru bahasa Indonesia—pernah menggembar-gemborkan soal kesaktian buku ini di depan kelas berkali-kali.

“Buku ini bagus! Mengisahkan perjuangan di masa sekolah yang menyenangkan sekaligus mengharukan!”


Aku tidak menyalahkan persuasifitas Pak Nasir. Hanya saja yang kutangkap dari kalimatnya adalah buku itu bercerita tentang kisah picisan remaja SMA yang didrama-dramakan. Di sudut sana Bangkit menguap lebar.
Seingatku tidak ada bencana semacam nyalo di sini semalam. Aneh saja tiba-tiba pagi-pagi esoknya Bangkit mendatangiku lalu menyodorkan buku merah muda yang sudah tak asing: Laskar Pelangi. “Buku ini hebat! Buku ini hebat! Coba kau baca satu bab saja!”tawarnya.

        
Aku membaca satu bab secara random. Yang terpilih olehku adalah bab 12 halaman 127, judulnya Mahar. Setelah membacanya tak dapat kupungkiri kalau buku ini menarik, kata-katanya indah bercahaya. Buku itu kupinjam dan kuselesaikan malam itu juga. Ternyata buku ini memang hebat. Yang lebih hebat lagi, setelah buku itu “menemui” Bangkit, ia tiba-tiba ikut bercahaya. Tak ada uapan lagi. Dalam sekejap Bangkit si Abu Naum di kelas menjelma menjadi cemerlang, aktif dengan ide yang meluap-luap. Dalam pertunjukan drama di kelas ia diganjar gelar Sutradara Terbaik. Pak Nasir memujinya habis-habisan. Tak hanya itu, ia juga mendadak menjadi pemusik, menjadi pemain akordeon untuk mengisi tarian daerah Seluang Mudik. Tak tanggung-tanggung, kelompok tarinya diundang mengisi acara pernikahan putri bupati.



Kalau kau pernah menyaksikan film Kungfu Hustle, Stephen Chow yang semula adalah pendekar kroco tiba-tiba berubah menjadi Pendekar Tapak Dewa tak terkalahkan karena aliran chi di tubuhnya mengalir deras pasca babak belur dihajar Pendekar Kodok. Bangkit pastilah juga seperti itu, buku Laskar Pelangi telah menamparnya hingga tak merasakan kantuk lagi. Dan darah seninyapun mengalir deras.

Terakhir ia menemuiku lagi-lagi secara tiba-tiba. Ia seenaknya datang kepadaku dan mengajak backpacking ke Wonderland-nya, Pulau Belitung. Aku tersenyum menolak. Anak perempuan usia tujuh belas sepertiku tak mungkin diijinkan pergi jauh-jauh apalagi sampai menyeberang lautan. Ia mengerti, tak banyak protes kemudian berlalu. Beberapa bulan kemudian rencana perjalanannya itu gagal. Kusangka karena ombak sedang tinggi di Selat Bangka, Kapal Cepat jadi takut berlayar.


Oh ya namaku Nesy. Siswi salah satu SMA di pedalaman Sumatera. Soal malaikat mana yang menampar Bangkit dengan buku merah muda itu aku masih belum mengerti sampai sekarang.
***

Namaku Aldi. Mahasiswa semester pertama Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Solo. “Gimana Di? Like-nya udah nambah belum? Sekarang berapa?” Mas Bangkit menanyaiku.
“Sulit Mas mungkin cuma bisa nambah sepuluh lagi.” Aku menjawabnya pasrah. Biar sedikit kuceritakan, beberapa minggu yang lalu kami berdua—aku dan Mas Bangkit—mendadak membuat semacam Production House. Kami membuat film, eh mungkin lebih pantas disebut video amatir tentang buku. Mas Bangkit adalah dalangnya, aku digaet sebagai model sekaligus penata musik. Untuk seukuran mahasiswa ekonomi, teknik pengambilan gambarnya lumayan. Ia mengerti soal lingkup frame kamera ponsel yang terbatas sehingga ia mesti mengulang satu adegan berkali-kali kemudian merekamnya dari sudut yang berbeda-beda. Ia mengerti soal tata cahaya, lampu neon “dipinjam”nya dari teras kos untuk penerangan di depan kamera.
          
Proyek ini tentunya bukan dibuat tanpa tujuan. Ini demi memenuhi obsesi Mas Bangkit. Video ini diikutkan lomba dari penerbit buku dengan goal tiket gratis ke Belitung untuk menyaksikan Festival Laskar Pelangi. Syaratnya tentu saja cukup njelimet. Lebih dari enam judul buku harus ditampilkan di video ini. Ada judul Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Cinta di Dalam Gelas dan lain lain. Kalau ditumpuk buku-buku itu bisa setinggi dagu orang dewasa. Pemenang ditentukan dengan “like”. Yang berhasil mengumpulkan Like terbanyak akan menjadi pemenang.
          
Ini hari terakhir pengumpulan like. Video yang kami baru unggah di facebook baru mendapat 308 like, sementara lawan yang baru mengunggah kemarin sudah dapat lebih dari 500 like. “Balik aja ke kamar Di! Aku mau nyari bala bantuan lagi.” Ia coba menenangkan diri tapi terlihat tegang. Aku kembali ke kamarku, tidur hingga esok paginya aku terbangun, aku langsung ke kamar Mas Bangkit. Ia ternyata tidak tidur semalaman mempromokan videonya mati-matian. Hasil akhirnya tak begitu berpengaruh, hanya bertambah 30 like. Itu artinya kami gagal. Mas Bangkit terdiam menahan kantuk, seminggu ke depannya ia jadi jarang berbicara.

Siang itu aku iseng membuka situs majalah remaja langgananku. Ada artikel tentang tren baru di Indonesia: Drama Musikal. Musikal Onrop!-nya Joko Anwar sudah digelar beberapa waktu lalu dan yang akan digelar dalam waktu dekat adalah Musikal Laskar Pelangi. Link soal musikal baru itu ku-klik dan yang kutemukan adalah majalah ini ternyata sedang menggelar sayembara bertajuk “Buktiin Seberapa Cinta Lo sama Laskar Pelangi”. Pemenangnya berhak atas tiket kelas satu untuk menyaksikan pertunjukan Musikal Laskar Pelangi.
          
“Mas! Mas Bangkit!” Teriakku membuat kepalanya nongol dari jendela kamarnya. “Videonya di-upload ke majalah Provoke aja! Yakin pasti menang!” Teriakku lagi.
***
          
Unik memang tanggal ini, tanggal 17 Desember. Tanggal ini adalah tanggal perdana pemutaran film Sang Pemimpi tahun 2009. Tanggal ini juga merupakan tanggal kelahiran aktivis legendaris Soe Hok Gie. Tanggal ini kemudian juga dijadikan tanggal perdana dimulainya pertunjukan Musikal Laskar Pelangi. Agaknya Mira Lesmana dan Riri Riza—dalang dari  film GIE, Sang Pemimpi, dan Musikal Laskar Pelangi—menyukai tanggal ini.

Akupun seharusnya menyukai tanggal ini karena tanggal ini telah membawaku ke Jakarta untuk menjadi saksi pertunjukan mini Belitong. Sebagai pengganti rasa kecewa tak tertanggungkan karena percobaanku berkali-kali mencoba mencapai Pulau Belitong yang sebenarnya tak kunjung berhasil.

Aku mesti berterima kasih kepada Pak Nasir yang menjatuhkan bukunya di koridor kelas dan membuatku memungutnya. Secara  accidental aku langsung jatuh cinta di lembar pertama dan dengan jahat tak mengembalikannya. Kukirim SMS ke dua nomor. Aldi dan Nesy.Ucapan terima kasih untuk Aldi yang menunjukkan jalan yang mudah dan murah hingga aku bisa sampai sini, di tengah hiruk pikuk metropolitan yang asing bagiku: Jakarta. Ucapan untuk Nesy bukan soal terima kasih tapi cuma memanas-manasinya kalau aku sebentar lagi bakal ke Belitong, meski cuma sebatas set panggung. Hasilnya dia muntab dan mengancamku tak boleh ke Sumatera tanpa oleh-oleh kaos Laskar Pelangi.
          
Aku berada di bis oranye. Trayek terakhir dari perjalanan panjangku dari Solo. Kondektur bis ini menjamin kalau bis kota ini pasti melewati taman Ismail Marzuki, dekat sekali katanya. Aku lelah dan kurang tidur di kereta semalam tapi semuanya dikalahkan oleh menggebunya obsesiku untuk menyaksikan pertunjukan ini.
          
Anehnya setelah melewati Rabobank dan tikungan ke kiri si kondektur di di pintu depan tidak menghentikan bisnya. Aku mulai khawatir, aku tak boleh telat, pertunjukan dimulai kurang dari setengah jam lagi. “Mbak, Taman Ismail Marzuki udah lewat belum ya?” Aku bertanya pada penumpang di belakangku. “Wah, Udah kelewatan Dek, bis ini nggak berhenti langsung di depannya, pas tikungan tadi harusnya Adek turun terus jalan sedikit ke kiri.” Jawabnya.
          
Aku langsung berlari menuju pintu keluar bis ini. Memukul-mukul atap dan memelototi kondektur yang telah mengkhianati kepercayaanku kepadanya. Setelah turun dari bis terkutuk itu aku langsung berlari melawan arah.
          
Maka di sinilah ku. Di antah berantah berlari menelusuri trotoar serupa Joni di film Janji Joni. Berlari seperti diajarkan Arai kepada Ikal untuk kabur dari kejaran Pak Mustar, juga untuk mengejar mimpi. Belitong sudah dekat. Cuma tinggal berlari, Iya, cuma tinggal berlari saja, tidak susah. Aku pasti sampai. Tak mungkin gagal lagi. Aku pasti sampai.


Oleh : M. Barkah Winata

1 komentar:

  1. Q kerja di Hongkong 3 THN dlu Amat trsiksa Majikan gak baik Tiap hari di marahin kerja terus 24 jam jarang istrahat tidur mlm Kerja sampe subuh pgi klo lagi libur sekolah sibuk masak" boro" bisa istrirahat, pokoknya kerja.. kerja truss... jd TKW Bikin kapok tersiksa batin 3 THN, kebetulan wktu itu ada teman Q kenal namanya Mbah Jenggot di facebook, awalnya Q ikut-ikutan melihat temanku, ternyata setelah kubuktikan hasilnya memang luar biasa..!! katanya sering di bantu sm beliau. ternyata dia seorang guru spritual Pesugihan Anka Togel 2D sampai 6D dan Pesugihan Dana Ghaib , tp Q beranikan diri coba telpon beliau. Tp Q memilih Pesugihan Dana Ghaib nya. Alhamdulillah benar2 terbukti nyata hasilnya, Q di Hongkong bisa pulang ke indonesia degan selamat jg dah Alhamdulilah ���� jika ada teman minat ingin tlpn beliau ini nmr nya +6282291277145 smg bisa di bantu sprti Q. Amin...




    BalasHapus